Bercakap Bahasa Mentawai di Uma

Selalu ada hal yang bisa dipelajari setiap kali berkenalan dengan orang baru. Di Mentawai, saya dan Kinanti belajar mengenai kebiasaan hidup selaras dengan alam, beradaptasi di lingkungan yang berbeda dengan yang biasa yang kami alami dan bahasa baru yang asing di telinga kami. Dalam cerita kali ini, saya perkenalkan beberapa kata-kata sehari-hari orang Mentawai ya.

Sebelum berkunjung ke perkampungan Mentawai, kami membeli antaran yang terdiri dari rokok, beras, gula dan makanan ringan. Termasuk permen Hot Pot Pop untuk anak-anaknya. Kabarnya orang Mentawai suka sekali bila diberi rokok, meskipun mereka sudah punya rokok lintingan sendiri yang disebut ube.
Begitu masuk uma (rumah), kami mengucap“Aloitta!” (apa kabar?) dan mereka menjabat tangan seraya mengucap, “anaileoita”. Lalu kami memperkenalkan diri dengan berkata, “Oning ku Dita” (nama saya Dita) dan tanyakan nama teman kita, “kasei onim?”. Bunyinya mirip dengan, “What is your name?”. Pendamping kami memberikan antaran yang kami bawa sambil bertanya, “nuo bak ubek nekne?”. Artinya, “anda ingin rokok?”. Rokok membuat percakapan dengan orang Mentawai terasa lebih cair. Trust me, it works.

Bersama keluarga Tutulu di Siberut

Di uma, kami memerhatikan banyak kepala binatang yang dipajang di dinding dan atap. Di antaranya adalah utet joja (tengkorak kepala monyet) dan utet saina (tengkorak kepala babi). Kata rimata (kepala suku) sekaligus sikerei (dukun budaya suku Mentawai), kepala binatang buruan yang dipajang nantinya akan “menarik” binatang lain sehingga mereka tidak perlu takut kehabisan binatang buruan.

Ketika sudah sitagok (siang), kami makan bersama di uma tersebut. Tutulu, teman kami itu, mengajak kami untuk mencicipi sagu yang diambilnya dari batang pohon sagu. Uni Miya, pendaming kami, lalu mempersilakan untuk mencicipi rendang yang kami bawa. Rupanya keluarga Tutulu menyukai rasa rendang yang pedas itu! “Mananam”, alias enak, katanya. Suku Mentawai senang membagi rata makanan atau apa saja yang mereka miliki, tak heran antaran yang kami bawa habis dalam sekejap dibagi ke semua penghuni uma tersebut. Tak terkecuali permen untuk tatoga (anak) dan makanan untuk sigeita (anjing) mereka.

Momoi ku foto ekeu?”, guide kami bertanya sebelum memotret. Artinya adalah, “bolehkah saya memotret anda?”. Sebaiknya meminta izin sebelum memotret karena ada beberapa yang meminta imbalan bila kita hendak memotret.

Hari sudah menjelang sore ketika saatnya kami meninggalkan uma. Kami mengucap, “masura bagata” yang artinya “terima kasih”. Tutulu menjawab, “Simakerek” (sama-sama). Sekali lagi sikerei dan istrinya menjabat tangan kami seraya berkata, “Kewah!” yang artinya kira-kira, “hati-hati di perjalanan”. Sebuah kunjungan yang menyenangkan!

Oh ya, kami juga belajar satu kalimat lain yaitu “kuobak ekeu.”. Artinya apa? Artinya adalah, “aku cinta kamu”. 😉

7 thoughts on “Bercakap Bahasa Mentawai di Uma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Are you human? * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: