Berwisata ke Tillicum Village di Blake Island, Seattle

Pada hari kedua di Seattle, kami berangkat pagi-pagi menuju Tillicum Village, sebuah desa wisata yang terletak di Blake Island (Pulau Blake) Rupanya pagi hari di Seattle dingin sekali. Di beberapa tempat malah terlihat kabut. Tapi bahkan di cuaca sedingin itupun, ada saja orang yang lari pagi hanya dengan memakai hotpants dan tanktop.

Kami berjalan menuju Pier 55 di downtown Seattle, tempat kapal feri Argosy Cruises yang akan membawa kami ke Tillicum Village. Kami melewati Pike Place Market, pasar tradisional yang (ternyata) cukup terkenal. Di Pike Place Market, kita bisa membeli ikan segar dari dari nelayan dan hasil kebun dari para petani. Semuanya segar. Oh ya, ada sebuah toko ikan yang menarik dan sering jadi tontonan. Para pegawainya membersihkan dan menjual ikan sambil menyanyi bersama. Kompak banget.

Di Pike Place juga banyak toko souvenir khas Seattle. Tapi seperti sebagian besar souvenir lainnya, barang-barang itu diimpor juga dari luar AS, terutama Cina dan Amerika Selatan. Dalam perjalanan menyusuri Pike Place Market, saya melihat banyak barang yang di etalase nggak jauh berbeda dengan souvenir-souvenir yang biasa saya lihat di Pasar Anyar Bogor! Yakinlah saya barang-barang di kedua negara berbeda ini –Indonesia & AS- asalnya dari satu tempat yang sama: Cina.

Keluar dari Pike Place, kami menuruni tangga. Aroma laut tercium lebih jelas. Kapal feri kami dari Argosy Cruises, bersandar di Pier (dermaga) 55. Kami hanya tinggal menunjukkan tiket yang sudah disiapkan oleh pemandu program kami di Seattle. Kapal sudah hampir penuh ketika kami tiba. Satu keluarga Cina terlihat berlari-lari naik ke kapal yang berangkat tepat waktu.

Kami memilih duduk di dek supaya bisa melihat pemandangan Elliott Bay yang lebih jelas. Dingin banget sih, sekitar 15 C saat itu, apalagi ditambah tiupan angin laut sesekali. Brrr… segini summer, bagaimana dinginnya di musim lain? Untunglah kami memakai jaket dan celana panjang, sesuai anjuran Serge pada malam sebelumnya. Sebenarnya saya sempat menganggap Serge berlebihan dan agak parno, karena kami disarankan memakai jaket setebal mungkin yang kami bawa, sepatu tertutup dan kaos kaki. Mbak Rita sampai mengganti sepatu sandal yang biasa dia gunakan dengan sepatu lain yang lebih tertutup. Namun setelah merasakan dinginnya angin Elliott Bay, rasanya memang sarannya itu sudah pas.

Dari atas kapal, kami melihat Seattle yang perlahan-lahan kami tinggalkan. Gedung-gedung tingginya semakin lama semakin terlihat menjauh. Space Needle masih terlihat menjulang dengan jelas. Saat itu saya membatin, ah tak sabar rasanya ingin ke Space Needle!

Di tengah perjalanan, kami memutuskan untuk masuk ke kapal. Rasanya dingin juga terkena angin laut lama-lama. Di dalam kapal, ada bar yang menyediakan bermacam minuman dan cemilan. Kursi-kursi untuk penumpang berderet rapi. Kami ngemil popcorn sambil mendengarkan penjelasan tentang Tillicum Village oleh orang dengan kostum American Indian, atau Northwest Coastal Native,  yang memakai selimut khasnya. Sayangnya suaranya tidak begitu jelas jadi saya hanya sempat mengagumi selimutnya yang terlihat cerah dan hangat.

This slideshow requires JavaScript.

Wisata Budaya Lokal di Tillicum Village

Setelah 40 menit di atas air, tibalah kami di Tillicum Village yang berada di Blake Island (Pulau Blake). Sambutan sudah tampak sejak pengunjung pertama menginjak dermaga kayu. Sekelompok anak terlihat menari sambil mengelilingi totem. Tampaknya inilah tarian selamat datang khas budaya setempat northwest coastal native.

Kami lalu bersantai sambil menikmati sup kerang yang dibagikan gratis kepada pengunjung. Rasanya gurih dan hangat, cocok dimakan sambil sejuknya Tillicum Village. Rupanya segelas sup kerang nggak cukup, jadi saya dan Putra minta segelas lagi. Enak banget sih 😀

Kami kemudian masuk ke The Longhouse, sebuah rumah besar yang terbuat dari kayu. Ada toko souvenir khas Indian di sana. Di dalam rumah kayu tersebut, kami bisa melihat bagaimana orang Indian memasak menu utama yang akan kami santap siang itu: salmon bakar ala Tillicum Village (Traditional Alder Baked Salmon).

Pengunjung antri untuk masuk ke ruang makan yang besaaar sekali. Di dalamnya ada banyak meja panjang dengan peralatan makan tersedia di atasnya. Kami kemudian ngantri lagi di belakang ruangan sambil membawa piring masing-masing.

Makanan disajikan secara prasmanan. Ada nasi merah, semur daging, salad, keju, buah dan lalu salmon. Salmon matang yang berwarna merah itu dibagikan di ujung meja. Melihatnya saja, rasanya pingin cepat-cepat lari ke meja makan lalu melahapnya.

Piring saya penuh dengan makanan yang berwarna-warni. Karena nggak tahu mana yang enak, jadi dicoba aja semuanya. Makanannya memang enak, kecuali semur daging (belakangan saya tahu namanya Signature Northwest Stew) yang menurut saya agak bau anyir dan nggak jelas rasanya. Semur daging ini dibuat dari daging sapi, rusa dan bison. Glek!

Dari makanan yang disajikan, salmon bakar memang jadi juaranya. Salmon ini tidak dibumbui macam-macam, jadi pengunjung bisa menambah garam atau merica sesuai selera. Dagingnya empuk dan gurih. Menurut Serge, orang Indian menggunakan salmon yang hidup alami di sungai mereka, jadi bukan menggunakan salmon transgenik yang banyak beredar di pasaran. Hasilnya, salmon bakar yang enak dan segar. Pantaslah bila salmon ini jadi menu utama makan siang di Tillicum Village.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Are you human? * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: